Bulan ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya. Semarak menyambutnya telah nampak sejak jauh hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan” menghiasi jalan-jalan raya. Semuanya menjadi semarak menyambut hari bersejarah itu.
Namun di balik kesemarakannya, masih terselip berbagai pertanyaan di benak kita; benarkah kita sudah merdeka secara hakiki? apa makna kemerdekaan bagi kita? bagaimana kita mengisi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?
Sebelum kita melihat lebih jauh, ada baiknya kita mencoba mengingat kembali bagaimana kemerdekaan itu bisa hadir di negeri tercinta ini.
Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya. Ya, jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh sebelum terbayangnya sebuah komunitas bernama Indonesia.
Makna Kemerdekaan
Manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak diperoleh oleh makhluk-makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ : 70). Selain ilmu dan akal, di antara bentuk kemuliaan dan kelebihan manusia atas makhluk-makhluk lain, menurut sebagian para mufassirin (ahli tafsir), adalah kecenderungannya untuk terbebas dari penindasan dan penjajahan (Lihat Tafsir Bahrul Muhith 6/59).
Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan kunci kemuliaan manusia. Manusia tak akan lebih utama dari makhluk-makhluk lain dan menjadi mulia sebelum ia terbebas dari penjajahan.
Lalu pertanyaannya, kemerdekaan seperti apa yang akan menjadikannya mulia?
Dalam sebuah atsar (riwayat) disebutkan, ketika Rib’i bin Amir radhiyallahu anhu, salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya tentang perihal kedatangannya oleh Rustum, panglima pasukan Persia, ia menjawab, “Allah mengutus kami (Rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia kepada manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Lihat Al-Jihad Sabiluna hal. 119).
Dari atsar di atas, nampak bahwa Islam, ternyata, memandang kemerdekaan bukan dari satu sisi saja, melainkan dari semua sisi, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah, yakni kemerdekaan atau bebas dari penghambaan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala menuju tauhid untuk ranah batiniyah dan kemerdekaan dari kesempitan dunia dan ketidakadilan menuju kelapangan dan keadilan Islam dalam ranah lahiriyah. Sehingga bisa dikatakan bahwa makna kemerdekaan dari ajaran Islam adalah kemerdekaan yang sempurna bagi umat manusia. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Al-Aqidah Al-Washithiyyah berkata, “Ubudiyyah (penghambaan) kepada Allah adalah kemerdekaan yang hakiki, (sehingga) orang yang tidak menyembah kepada Allah semata, maka dia adalah hamba (budak) bagi selain Allah”. Jika ia masih menjadi budak, tentu saja belum pantas disebut merdeka.
Kemerdekaan yang asasi adalah ketika manusia berada dalam fitrahnya, yaitu Islam dan tauhid. Setiap manusia yang terlahir di muka bumi, sejatinya adalah manusia merdeka. Bagaimana bisa? Hal ini karena sejatinya tak seorang pun yang terlahir ke dunia ini kecuali telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabbnya dan Islam adalah agamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf : 172).
Ketika manusia tidak berada di atas fitrah tersebut, sekali lagi, sesungguhnya ia adalah manusia yang belum merdeka dan masih terjajah. Kemerdekaan manusia yang asasi ini kemudian bisa terampas dari lingkungan dimana manusia itu tumbuh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, selanjutnya orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nashrani, atau majusi” (HR. Muslim).
Jadi, setiap muslim hendaknya memaknai kemerdekaan itu sebagai pembebasan dari segala bentuk kesyirikan yang dapat menyimpangkannya dari jalan fitrahnya. Begitu pula, kemerdekaan oleh seorang muslim adalah terbebasnya seorang hamba dari segala sistem kehidupan yang tidak bersumber dari aturan Islam dan sunnah NabiNya sebagai wahyu Ilahi. Olehnya, ketika seorang hamba senantiasa komitmen akan hal ini, maka sejatinya ia adalah manusia merdeka di sepanjang hidupnya. Wallahu a’lam.
Mensyukuri Kemerdekaan
Kemerdekaan bangsa Indonesia dari rongrongan para penjajah terhadap hak dan kehormatan bangsa adalah sebuah nikmat besar yang wajib untuk disyukuri. 77 tahun yang lalu ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, para pendiri bangsa telah menyatakan pengakuannya dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”. Sehingga jelas, bahwa kemerdekaan yang hingga saat ini kita rasakan adalah berkat Rahmat dan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri. Jika diingkari, tidak menutup kemungkinan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut nikmat-Nya dan menggantinya dengan niqmah (adzab). Sebailiknya, jika disyukri maka kesyukuran tersebut akan mengundang nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (kenikmatan tersebut) kepada kalian” (QS. Ibrahim: 7).
Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan-lisan kita, dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih dan menyebut jasa serta mendoakan para pahlawan, semoga amalnya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyebut jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Abu Daud. Di-shahih-kan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam berbangsa dan bernegara, bukan dengan mengisinya dengan kemaksiatan kepadaNya. Dengan tegas Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41, ”(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Kalimat ”kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” dapat berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan.
Akhirnya, mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini sebagai negeri Islam. Dengan itu, insyaaAllah kita akan mampu meraih kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun thayyibatun warabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya. Semoga. Wallahu a’lam.
