Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Kabupaten Kuningan - Jawa Barat

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan produk yang dilahirkan dari demokrasi sebagai upaya menghadirkan prinsip egaliter. Prinsip egaliter lalu bertransformasi menjadi kepemilikan hak suara semua warga negara dalam politik untuk “memilih dan dipilih” yang diwadahi oleh suatu wadah yang disebut Pemilu (Election). Menurut Matori Abdul Djalil (2014) pemilu merupakan proses pemindahan suatu kepemimpinan dan kekuasaan secara konstitusional untuk melahirkan seorang pemimpin yang legitimatif. Pada prakteknya, pemilu sangat bergantung pada tingkat partisipasi politik masyarakat sebagai wujud demokratisasi.

 Partisipasi politik merupakan salah satu hal penting dalam pemilu, karena merupakan proses yang menentukan kualitas pemimpin, sekaligus sebagai indikator untuk mengukur kualitas sistem politik yang sedang berjalan. Secara teori, partisipasi politik dapat diartikan sebagai aktivitas seorang maupun kelompok untuk ikut secara aktif dalam berpolitik, yaitu dengan cara memilih pemimpin secara langsung maupun tidak langsung (Setiadi dan Kolip, 2013). Partisipasi politik terbagi menjadi dua perspektif, yakni pihak yang berkompetisi (dipilih) dan pihak yang memilih (konstituen).

Partisipasi politik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; Tingkat pendidikan yang berimplikasi membentuk pemahaman masyarakat secara holistik tentang hakikat politik, demokrasi dan pembangunan, serta pemahaman atas asas manfaat dan mudharat dari terlibat atau tidaknya pada proses politik. Selanjutnya, budaya dalam lingkungan sosial masyarakat memaknai tentang politik yang dibangun oleh para tokoh (elite) masyarakat dan stakeholder terkait. Partisipasi politik merupakan upaya masyarakat menunaikan hak-hak politik yang  harus dijamin sesuai prinsip demokrasi, penekanannya pada nilai keterbukaan, persamaan hak dan kebebasan bersikap dalam politik. Partisipasi politik sebagai sarana menuju kualitas pemilu juga harus sesuai dengan asas-asas pemilu, seperti secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pada perjalanannya, titik temu antara partisipasi politik dan asas pemilu terutama jujur/bersih, menjadi masalah yang mesti dicari formula idealnya untuk mengantisipasi terjadi perkara melawan hukum dalam pemilu. Karena pada ruang tertentu, partisipasi politik cenderung dipengaruhi motif lain diluar hati nurani dan kesadaran atas kewajiban politik.  Yang paling populer dalam hal ini sebut saja Politik Uang (Money Politic). Ovwasa O. Lucky mengatakan, politik uang adalah salah satu fakta mengenai kompetisi politik dengan menggunakan uang sebagai alat paling ampuh untuk menggapai kursi kekuasaan tertentu melalui pembelian hak suara atau upaya mempengaruhi keputusan politik yang tidak sesuai dengan hukum dan norma. Fenomena politik uang sudah seperti menjadi alat kampanye paling jitu dalam mensiasati masyarakat dalam memilih, sehingga kecerdasan intelektual maupun akhlak pribadi tidak lagi menjadi standar kelayakan seseorang untuk dapat dipilih.

            Terkait hal ini, pada Pemilu 2019 Bawaslu mendapatkan data mengenai kasus politik uang sebanyak 36 kasus yang sudah diputuskan oleh pengadilan (Kasim dan Supardi, 2019). Demikian pula temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang transaksi mencurigakan di rekening bendahara partai politik yang mencapai lebih dari setengah triliun rupiah pada masa kampanye menjelang Pemilu 2024. Walaupun belum terbukti secara hukum adanya pelanggaran, namun asumsi publik mensinyalir hal tersebut akan digunakan untuk aktivitas politik uang. Mengingat, politik uang seolah sudah menjadi rahasia umum yang sulit dihindari di tengah masyarakat, meskipun jarang terekspos dan jarang tersentuh hukum, karena masif bergerak di ruang sunyi dan berbagai modus operasi yang memanfaatkan agenda-agenda politik. Bahkan di benak masyarakat pada kalangan tertentu, momentum pemilu justru dimanfaatkan sebagai sarana mendapatkan penghasilan dengan mengharapkan adanya transaksi politik berupa uang tunai, sembako dan sebagainya.

Mengenai faktor yang mempengaruhi maraknya praktik politik uang, Fitriani dkk (2019) menyimpulkan diantaranya; faktor keterbatasan ekonomi karena targetnya menyasar masyarakat kelas menengah kebawah, faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, faktor lemahnya pengawasan baik itu oleh pihak-pihak terkait maupun kelompok masyarakat dan faktor kebiasaan karena praktik politik uang di kalangan masyarakat sudah berlangsung lama sehingga sudah menjadi kebiasaan atau tradisi. Adapun strategi politik uang, menurut Irawan (2015) terbagi kedalam dua bagian; Pertama, Serangan Fajar yang dilakukan saat pagi buta menjelang pemilu atau beberapa hari sebelum pemilu. Kedua, Mobilitas Massa pada saat kampanye lalu memberikan sejumlah uang untuk memeriahkan kampanye yang diadakan oleh partai politik dengan beragam modus. Bahkan Umam (2006) mengatakan, dalam kontek ini berbagi kebutuhan fasilitas umum sekalipun termasuk kategori bentuk politik uang.

Adanya hubungan antara partisipasi politik dan fenomena politik uang bertentangan dengan salah satu tujuan Teori Pembangunan Politik (Theory Political Development) yang dikemukakan Huntington, yakni Integritas Politik. Selain itu, tidak sesuai dengan Pembangunan Politik Negara Indonesia yang bertujuan mensejahterakan seluruh Rakyat Indonesia, sedangkan politik uang outputnya untuk kepentingan segelintir orang. Selanjutnya, dampak paling mengerikan dari politik uang adalah ketimpangan pada proses pembangunan serta rusaknya tujuan pembangunan. Karena apabila di dalam proses politik terdapat operasi ekonomi, secara otomatis aktivitas mengembalikan modal dan mencari keuntungan pasti include di dalamnya, kiblatnya mengarah ke pragmatisme. Akhirnya, politik akan dibangun berdasarkan kepentingan orang maupun golongan tertentu yang bermain dibelakang layar sebagai pemodal.

Fenomena ini juga merusak paradigma dan mematikan nalar masyarakat terhadap proses politik, meruntuhkan nilai-nilai demokrasi yang mengedepankan kualitas moral dan intelektual, membentuk asumsi masyarakat jika politik itu kotor, sekaligus menimbulkan krisis kepercayaan terhadap sistem politik dan kepemimpinan. Analoginya, Politik kotor akan menghasilkan kebijakan yang menyebabkan pembangunan jauh dari unsur keadilan, ketidakadilan adalah sumber utama ketimpangan, sedangkan ketimpangan merupakan perusak awal stabilitas politik yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.

Batasi dan Awasi Pendanaan Partai Politik

            Sudah menjadi pembahasan para aktivis dan tokoh politik dalam negeri tentang pendanaan  partai politik dibiayai melalui Anggaran Negara (APBN) agar dapat dibatasi dan diawasi (audit). Karena output dari pemilu hakikatnya untuk pembangunan negara, jadi masuk dalam kerangka logika jika negara bertanggung jawab membiayai seluruh proses politik. Dan partai politik sebagai peserta pemilu wajib melaporkan pertanggungjawaban keuangan kepada negara. Atau jika tidak dibiayai, minimal diawasi secara ketat dan transparan transaksi pembiayaan politik yang dilakukan parpol. Tujuannya, untuk menghindari transaksi gelap melalui jalur-jalur hitam dalam tubuh partai politik dampak dari pembiayaan politik diserahkan kepada masyarakat sipil atau swasta.

            Selanjutnya, karena biayapolitik sepenuhnya menjadi beban kontestan politik, akhirnya proses rekrutmen politik tidak lagi mengandung asas meritokrasi. Mereka yang berproses dalam keilmuan dan skill politik seperti aktivis mahasiswa, aktivis sosial, praktisi dan mereka yang berprestasi serta merta tersingkirkan oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial. Selain itu, pola pendekatan dan kesepakatan politik cenderung liberal dan transaksional, hal tersebut menyebabkan biaya politik menjadi tinggi (high cost) diluar biaya operasional politik, termasuk didalamnya untuk membiayai politik uang atau jual beli suara/dukungan.

Pemilu Sehat Negara Kuat

            Pemilu sehat akan membuat negara menjadi kuat, kuat dalam arti distribusi kesejahteraan terhadap rakyat dapat dijamin oleh kebijakan politik yang dihasilkan. Pemilu yang sehat dalam prosesnya mengedepankan prinsip meritokratik, tercapainya substansi demokrasi seperti nilai dan prinsip bebas, terbuka, jujur, adil, kompetitif. Serta terciptanya keseimbangan antara fenomena politik pemilu yang menghadirkan kesadaran masyarakat untuk berkompetisi dan berpartisipasi dengan fenomena sosiologis pemilu yang mencerminkan perilaku masyarakat dalam merespon adanya perbedaan pilihan, isu-isu dan beragam kepentingan (Hastuti, 2004).

Jika demikian, pemilu akan dapat melahirkan pemimpin ideal yang lahir dari basis moral dan pemimpin yang mampu mengorkestrasi situasi politik. Meskipun menurut penulis, situasi tersebut sulit terjadi di negara berkembang selama masih dihadapkan dengan faktor pendidikan rendah, ekonomi lemah dan apatisme atau kesadaran masyarakat. Namun, bukan berarti mustahil untuk diwujudkan dalam jangka panjang (berkesinambungan) melalui penguatan pendidikan politik dalam kurikulum pendidikan yang dimulai sejak dini, seperti Pembelajaran Berbasis Proyek Penguatan (P5) Suara Demokrasi yang diterapkan pada Kurikulum Merdeka saat ini. Memperketat peran pengawasan baik dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok kepentingan, kelompok penekan dan lembaga-lembaga terkait. Serta penguatan melalui aspek spiritual oleh para tokoh agama maupun lembaga keagamaan mengingat Indonesia menganut Demokrasi Pancasila yang tak terpisahkan dari nilai-nilai agama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *