Dengan bercita-cita dan berorientasi akhirat, maka Allah Ta’ala akan membantu memudahkan urusanmu, akhirat dapat dan dunia pasti dapat. Ibarat menanam padi (akhirat) pasti diikuti tumbuhnya rumput (dunia) Sedangkan kalau cita-cita hanya dunia, maka khawatirnya kamu hanya mendapatkan dunia, dan di akhirat menjadi orang yang rugi besar. Tanam rumput tak akan diikuti tumbuhnya padi.
Allah Ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia maka akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat” (Qs. Asy-Syura : 20).
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Qs. Al-A’laa: 16–17).
Banyak yang bertanya “Bagaimana contoh bekerja dengan orientasi akhirat ?”
Jawabannya banyak sekali : Ketika engkau bekerja karena ingin menikah, karena ingin menafkahi keluarga, ingin membantu keluarga yang tidak mampu, ingin berhaji, ingin banyak bersedekah seperti si fulan, ingin membangun 10 rumah sakit Islam, ingin menyantuni seribu anak yatim, dan seterusnya, dan seterusnya. Itu semua bisa dikatakan bekerja untuk orientasi akhirat.
Ada kisah menarik di zaman tabiut tabi’in. Seorang ulama besar bernama Abdullah bin al-Mubarak, seorang ulama ahli hadits sekaligus seorang pedagang yang berhasil.
Beliau rahimahullah ditanya oleh Fudhail bin Iyadh, “Engkau selalu mengajari kami untuk zuhud terhadap dunia, tetapi aku lihat engkau sibuk berdagang di pasar-pasar.”
Abdullah bin al-Mubarak menjawab bahwa dia bersemangat berdagang karena ingin menanggung nafkah ulama-ulama ahli hadits, agar para ulama tersebut tetap fokus mengajar ilmu hadits dan tidak sibuk bekerja. Alasannya, kalau mereka sibuk bekerja, mereka tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk mengajarkan al hadits” (Kisah itu disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’alam an-Nubala’, pada biografi Abdullah bin al-Mubarak).
Lihatlah betapa indahnya cita-cita beliau, dan betapa Allah Ta’ala membuktikan janjinya.
Beliau rahimahullah justru sukses dalam berdagang, menjadi pengusaha kaya, namun tetap zuhud terhadap dunia, yaitu tidak meletakkan dunia di hatinya. Dunia hanya sarana, bukan tujuan, hartanya sebagian digunakan mmbantu ulama-ulama hadits dalam menjaga risalah Nabi saw.
Beliau mengerti hakikat kehidupan dunia yang fana, dunia hanya wasilah untuk kebahagiaan akhirat.
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (Qs. Al An’am ayat 32).
Edited by. Satria hadi lubis